Dokpri flyer kajian dan upgrading
Gelar pahlawan tanpa jasa melekat kuat pada peran guru. Penyematan gelar tersebut tak lain karena mengacu pada tugas pokok dan fungsi guru dalam mencetak generasi bangsa. Tagline Indonesia Emas 2045, salah satunya, tentu hanya akan dicapai manakala dunia pendidikan mampu memaksimalkan kiprahnya: menyediakan sarana-prasarana, sistem dan pembentukan karakter generasi hebat melalui peran guru.
Peran guru di era digital--teknologi mutakhir--saat ini memang penuh tantangan. Terlebih, berbagai pengetahuan telah tersimpan di big data dapat diakses sewaktu-waktu melalui search engine seperti Google, Bing, Baidu, Yahoo dan lain sebagainya. Apa pun yang kita inginkan dapat digenggam dalam hitungan detik. Semua itu tergantung kecepatan internet yang kita miliki.
Dalam hukum kausalitas positif, yang demikian menunjukkan peran guru sebagai transmisi pengetahuan telah terbantu. Murid tidak lagi bergantung pada satu sumber melainkan sebaliknya: Disodorkan berbagai sumber pilihan sesuai kebutuhan. Ketidakmampuan memfilter sumber yang valid, bersifat objektif dan sesuai realitas adalah salah satu kelemahan yang harus dihadapi murid.
Kendati teknologi digital senantiasa menawarkan tsunami data tentang sesuatu yang kita cari namun faktanya alat itu tidak pernah menyentuh aspek humanis: emsional dan keteladanan. Data yang dibaca melalui layar gadget tak ada sentuhan perasaan--kering akan ekspresi dan kontak fisik--sebagaimana guru berhadapan langsung di dalam ruang kelas. Alhasil menjadikan user lupa bagaimana cara mengekspresikan perasaan dalam interaksi sehari-hari. Tidak hanya itu, sikap tempramen, malas dan tidak peduli terhadap lingkungan serta lupa waktu menjadi ancaman yang serius bagi user.
Coba bayangkan, user tersebut adalah anak-anak (murid) kita? Lantas, bagaimana jika yang demikian itu melanda seluruh generasi bangsa? Tentu ironi yang berlapis bahkan tak berujung akan menambah huru-hara nasib peradaban bangsa.
Dalam konteks inilah pentingnya meng-upgrade kemampuan dan mengoptimalkan peran guru di satuan lembaga pendidikan dari waktu ke waktu harus digalakan. Utamanya peran guru menurut Ki Hadjar Dewantara tidak hanya sebagai penuntun dan teladan melainkan bertanggungjawab mengembangkan potensi murid sesuai karakter bangsa. Sedangkan, generasi bangsa adalah aspek fundamental dalam menentukan arah gerak peradaban.
Terkait hal itu, yayasan Rumah Tahfidz Baitul Qur'an menghelat kajian dan upgrading dengan tajuk: Wawasan Kebangsaan dan Terbentuknya Lembaga Pendidikan yang Nyaman, Disiplin dan Rapi. Kegiatan ini mulanya hendak diisi oleh Komandan Rayon Militer (Danramil) 0807/03 Kedungwaru Tulungagung, yakni Kapten Armed Sugiharto. Namun beliau berhalangan hadir, sehingga digantikan oleh Sertu Mashul Wani.
Beliau menegaskan bahwa bangsa Indonesia ini terbentuk dan berdiri atas dasar persatuan, kesatuan dan kehendak bersama untuk merdeka. Semuanya itu ditempuh dengan cara yang tidak mudah. Ada pengorbanan darah, nyawa dan bersatunya ideologi berbangsa dan bernegara yang harus ditebus. Itu artinya mengutamakan kepentingan bersama dibanding parsial. Ego sektoral yang berbasis etnis, suku, bahasa dan ideologi serta agama dikesampingkan: sembari mencari titik temu demi kemaslahatan bersama sesuai mufakat.
Pengorbanan di balik persatuan dan kesatuan tersebut tentu melahirkan konsep jiwa nasioalis dan patriotis. Kita semua mafhum, bahwa kedua sikap itu lekat dalam tubuh tentara nasional indonesia (TNI). Maka tak ayal jika menyoal kepahlawanan--yang di dalamnya memuat kedisiplinan, loyalitas dan keberanian--dalam konteks mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara taktis dan fisik kita banyak berkiblat pada TNI. Inilah alasan utama kenapa satuan lembaga kerap bermitra (menghadirkan) tentara untuk membangkitkan kedisiplinan dalam diri dewan guru dan murid.
Benang merah bertemu. Pahlawan tanpa tanda jasa harus belajar banyak pada pahlawan dengan tanda jasa. Karakter tentara yang tegas, disiplin dan berani serta siap berkorban inilah yang hendak ditiru. Kunci utama yang hendak diaplikasikan adalah bagaimana mampu memanajemen diri di antara semua kepentingan yang ada. Setiap orang memiliki waktu 24 jam dalam setiap hari, akan tetapi dalam praktiknya akan berbeda-beda. Berbeda dalam arti pemanfaatan dan penggunaannya. Ada istilah waktu efektif dan tidak; Ada waktu utama dan terbuang sia-sia.
Soal manajemen waktu kita bisa belajar dari bagaimana seorang tentara menjalankan tugas di medan tempur. Akurasi waktu sesuai komando menjadi acuan. Bergulirnya waktu adalah medan untuk berpacu menjalankan misi dengan baik. Meleset sedikit, nyawa jadi taruhan. Salah memperhitungkan waktu akan menelan kekalahan.
Ditegaskan, manajemen waktu tersebut dimulai dengan menata jadwal harian personal. Setelah jelas, aturlah diri untuk melakukan kegiatan sesuai jadwal yang ada. Upayakan ada tenggat waktu dari satu kegiatan ke kegiatan selanjutnya. Hindari sikap menyepelekan waktu: Tergesa-gesa dan molor. Jika manajemen diri telah bekerja dengan baik maka akan berdampak pada tanggung jawab yang bersifat publik. Dengan demikian, bekerja dengan disiplin dan tertib akan mudah dijalankan.
Rumus utama dalam menjalankan manajemen diri adalah adanya usaha dan sanksi. Sikap mengupayakan on time dalam melakukan kegiatan sesuai jadwal harian harus ditegakkan. Sebaliknya, jika diri melanggar jadwal harian maka jangan sungkan untuk memberi sanksi. Sanksi tersebut dapat disesuaikan dengan batas kemampuan. Namun demikian bukan berarti pula kita harus melulu bersikap lembek terhada diri.
Perlu dicatat bersama, bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Begitu pula dengan eksistensi satuan lembaga pendidikan, jika hendak maju harus dimulai dengan mengarusutamakan upaya perbaikan demi perbaikan secara bertahap. Harus diingat bersama, pohon tidak pernah berbuah tanpa berbunga.
Melalui upgrading ini kami berharap seluruh sumber daya manusia lembaga: pendidik dan tenaga pendidik dapat melejit. Bukan hanya profesionalitas dalam bekerja melainkan menjadi pembimbing dan teladan (role model) dalam menanamkan kedisiplinan--semangat menghargai waktu dan memanfaatkannya dengan baik--di lingkungan lembaga. Jika sudah demikian tentu ghirah yang dibumikan dengan mudah akan menular kepada seluruh murid.
Harapan kami terpancang kuat, bunga yang telah mekar itu lekas jadi buah. Buah yang matang marun, besar dan manis semoga dapat dirasakan manfaatnya oleh khalayak masyarakat sekitar. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar