Rabu, 23 Juli 2025

Guru Handal di Era Digital

 

Dokpri flyer kajian dan upgrading hari kedua

Selain berusaha membentuk sumber daya lembaga: pendidik dan tenaga pendidik yang profesional dan disiplin, Yayasan Rumah Tahfidz Baitul Qur'an juga mendorong untuk menjadi guru yang bersahaja dengan perkembangan teknologi mutakhir. Tidak kudet dan anti teknologi. Sebab guru pada kenyataannya harus menghayati perkataan sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa guru harus mendidik murid sesuai zaman. 

Kiranya khalayak saksama sudah mafhum dan sepakat, kita hidup di zaman era digital. Hampir semua aspek kehidupan umat manusia telah disusupi teknologi digital. Mulai dari kebutuhan primer, sekunder hingga tersier. Semuanya dimudahkan dalam hitungan detik. Tak terkecuali keberlangsungan dunia pendidikan, di mana teknologi hadir mengakomodir berbagai aspek. Utamanya aspek kognitif dan afektif. 

Sedangkan aspek psikomotorik masih menjadi bahan perdebatan karena memang teknologi digital akhir-akhir ini menjadikan penggunanya sebagai manusia ruang. Manusia yang betah menghabiskan waktu di satu ruangan. Di ruangan itulah kita sibuk scroll layar gadget sambil rebahan. Itu artinya di satu sisi gemerlap teknologi digital menjerumuskan kita dalam jurang kemalasan. 

Tak hanya itu, di lain sisi, aspek psikomotorik generasi kita sekarang sedang tidak baik-baik saja. Sindrom TikTok tak habis-habisnya menggempur anak-anak. Bukan lagi pemandangan yang aneh manakala kita kerap kali mendapati anak-anak kalap berjoget di hampir semua tempat. Mirisnya lagi, gerakan-gerakan yang viral di aplikasi itu mendikte mereka untuk terus menggerakkan tangan tanpa henti. Bahkan saat berkendara di jalanan, belajar di ruang kelas, mengaji dan salat di masjid, saat bermain bersama teman sejawat hingga sesaat sebelum memejamkan mata. 

Seakan-akan mengikuti gerakan yang sedang viral itu hebat, lebih berarti dari apa pun. Mengikuti gerakan viral seakan-akan lebih baik daripada menghabiskan waktu untuk berbakti kepada orangtua. Mengikuti gerakan velocity seakan-akan lebih berpahala dibandingkan khusyuk mengaji. 

Padahal, mengikuti tren gerakan itu hanya sia-sia belaka. Tidak keren sama sekali. Lebih keren menjadi anak yang gemar menggerakan tangan untuk hal berarti: menyapu, mencuci, merapikan rumah dan menghabiskan energi untuk membantu sesama. Mayoritas manusia lupa, bahwa semua anggota tubuh kita akan dihisab di akhrat kelak.

Fakta yang demikian tentu saja menjadi tantangan sekaligus peluang bagi dunia pendidikan. Mungkin benar, sempat ada segelintir oknum guru yang justru mengajak para murid untuk joget TikTok masal di sekolah. Namun manfaatnya apa? Viral saja kiranya tidak cukup sebab peran guru lebih dari itu dan lebih baik lagi. 

Dalam rangka mengakomodir kemutakhiran teknologi digital untuk hal positif di lingkungan sekolah maka yayasan menghadirkan Dr. Khabibur Rahman, M. Pd. Dosen matematika Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Beliau membuka kajian dengan penegasan, dahulu sebelum teknologi digital semutakhir sekarang beliau memprediksi, bahwa hanya ada dua aspek kehidupan manusia saja yang tidak akan tersentuh kecanggihan teknologi. Yakni dunia pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi, sekarang, pandangan itu beliau revisi. Faktanya, teknologi sudah menyisir ceruk percaturan dunia pendidikan dan kesehatan.

Sebagai bukti konkret, salah satu kampus di Amerika adalah pelopor kuliah dengan bantuan dosen kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence. Di Indonesia sendiri kampus Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) digadang-gadang sebagai salah satu kampus pelopor yang menggunakan kecerdasan buatan bernama Alpha dalam perkuliahan. Hal ini menegaskan bahwa peran guru sebagai transfer knowledge hampir purna telah terakomodir. Kehadiran dosen di ruang-ruang kelas sudah dapat digantikan dengan AI. 

Sebelumnya mungkin khalayak juga telah merasakan belajar dengan konsep dari jarak jauh selama covid-19 menjangkiti seluruh dunia. Meski dalam prakteknya ada peran sosok guru di balik layar namun tetap saja tidak mampu melakukan intekasi sosial dalam yang sama. Ada sekat jarak yang tampak dekat karena disatukan frekuensi koneksi internet. 

Yang demikian adalah lompatan-lompatan jauh yang mungkin sebelumnya tidak terprediksi dengan baik oleh guru masa lalu. Akan tetapi guru harus mampu beradaptasi dengan cepat. Belajar mengaplikasikan teknologi hingga menguasai dengan baik. Sebab hanya dengan cara itulah kita bisa mengontrol, membimbing dan menempatkan diri sebagai teladan di zaman yang serba disrupsi. 

Jika sebelum AI hadir pengguna teknologi masih bisa membedakan berita hoak, penipuan dan scamming dengan baik, maka di era AI semuanya jadi mendekati sama persis. Seorang penipu tidak lagi menggencarkan aksinya via telepon dan pesan, kini sudah zamannya sudah menggunakan video call, foto dan tutur kata yang sama persis dengan korban. AI di zaman sekarang sudah kian canggih hingga dapat mengkloning setiap bagian dari sisi seseorang. Terkecuali sisi spiritualitas yang bersemayam di dalam jiwa manusia. Inilah celah yang tidak dapat ditutup.

Kemampuan AI demikian sudah selaiknya dimanfaatkan dalam dunia pendidikan. Ada begitu banyak aplikasi dan software yang sangat membantu kelangsungan kegiatan belajar mengajar selama di sekolah. Lantas, apa saja aplikasi yang dapat menunjang optimalisasi pembelajar?

Beberapa tools AI yang dapat digunakan untuk menunjang pembelajaran guru di antaranya ialah Canva, Gamma, pippit AI, Plixi AI, Curipod, Gemini, Chatgpt, Suno, Elevenslars, Kahoot/Quizizz. Masing-masing tools tersebut memiliki fungsi spesifik yang berbeda. 

Apabila guru hendak meningkatkan kreativitas dalam membuat materi pembelajaran yang menarik, mudah disampaikan, dan mendorong kolaborasi antara guru dengan murid namun disampaikan dalam waktu yang efektif maka dapat memanfaatkan aplikasi canva. Melalui canva guru dapat berkreasi sesuka hati dan mengembangkan ide pembelajaran yang inovatif melalui visual yang imajinatif. 

Saat guru hendak mengajarkan cara membuat artikel, cerita pendek atau puisi kepada murid dalam waktu yang singkat maka dapat menggunakan aplikasi Gemini/Chatgpt. Melalui aplikasi ini murid bisa membuat artikel dengan format dan kerangka terstruktural yang baik sesuai dengan instruksi bertahap, detail dan akurat. Rumusnya semakin akurat dan detail perintah maka hasilnya akan baik. Kendati begitu tools ini memiliki limit tertentu dalam setiap hari. 

Ada pun saat murid belajar mata pelajaran seni budaya dan prakarya, utamanya dalam mengenal nada dan pembuatan musik guru dapat membimbing untuk menggunakan aplikasi Suno. Melalui tools ini murid dapat mengubah teks, gambar, video atau suara ke dalam bentuk nada-nada lagu dan komposer yang sesuai. Alhasil, murid dapat merasakan peran sebagai pencipta lagu dalam kurun waktu yang singkat.

Sedangkan manakala guru hendak melakukan evaluasi pembelajaran menarik dan menantang dalam bentuk game, guru dapat memaksimalkan fungsi dari aplikasi Khoot/Quizizz. Evaluasi berbasis game dapat memantik semangat, antusias dan partisipatif serta jiwa kompetitif murid berkali-kali lipat. Terlebih, murid dapat memantau papan peringkat skor secara langsung. 

Kendati begitu bukan berarti semua mata pelajaran mampu diakomodir tuntas dengan mengandalkan tools AI. Ada sisi aspek psikomotorik dan spiritual yang sama sekali tidak dapat ditembus oleh AI dalam prakteknya. Yang demikian terjadi karena memang secanggih-canggihnya AI sejatinya tidak memiliki common sense seperti manusia asli. 

Atas dasar demikian peran guru akan tetap relevan manakala guru mampu menjadi role model (keteladan) dari segi akhlak dan spiritual tanpa mengesampingkan penguasaan atas kecerdasan buatan yang marak saat ini. Menjadi guru handal digital dengan perangai yang mulia (akhlakul karimah) dan kematangan spiritual adalah kunci utama. Gebrakan yang dihadirkan AI ini tentu menambah khazanah media dan metode pembelajaran. 

Ingatlah pesan Albert Einsten, kecerdasan seseorang sejatinya terletak pada kemampuannya untuk terus berubah dan beradaptasi di jantung hiruk-pikuk zaman. Untuk itu mari kita gunakan kemutakhiran teknologi digital dalam hal positif. Dalam hal meng-upgrade skill personal misalnya. Tabik![]






Selasa, 22 Juli 2025

Membangun Karakter Guru di Era Baru

 

Dokpri flyer kajian dan upgrading

Gelar pahlawan tanpa jasa melekat kuat pada peran guru. Penyematan gelar tersebut tak lain karena mengacu pada tugas pokok dan fungsi guru dalam mencetak generasi bangsa. Tagline Indonesia Emas 2045, salah satunya, tentu hanya akan dicapai manakala dunia pendidikan mampu memaksimalkan kiprahnya: menyediakan sarana-prasarana, sistem dan pembentukan karakter generasi hebat melalui peran guru. 

Peran guru di era digital--teknologi mutakhir--saat ini memang penuh tantangan. Terlebih, berbagai pengetahuan telah tersimpan di big data dapat diakses sewaktu-waktu melalui search engine seperti Google, Bing, Baidu, Yahoo dan lain sebagainya. Apa pun yang kita inginkan dapat digenggam dalam hitungan detik. Semua itu tergantung kecepatan internet yang kita miliki.

Dalam hukum kausalitas positif, yang demikian menunjukkan peran guru sebagai transmisi pengetahuan telah terbantu. Murid tidak lagi bergantung pada satu sumber melainkan sebaliknya: Disodorkan berbagai sumber pilihan sesuai kebutuhan. Ketidakmampuan memfilter sumber yang valid, bersifat objektif dan sesuai realitas adalah salah satu kelemahan yang harus dihadapi murid. 

Kendati teknologi digital senantiasa menawarkan tsunami data tentang sesuatu yang kita cari namun faktanya alat itu tidak pernah menyentuh aspek humanis: emsional dan keteladanan. Data yang dibaca melalui layar gadget tak ada sentuhan perasaan--kering akan ekspresi dan kontak fisik--sebagaimana guru berhadapan langsung di dalam ruang kelas. Alhasil menjadikan user lupa bagaimana cara mengekspresikan perasaan dalam interaksi sehari-hari. Tidak hanya itu, sikap tempramen, malas dan tidak peduli terhadap lingkungan serta lupa waktu menjadi ancaman yang serius bagi user. 

Coba bayangkan, user tersebut adalah anak-anak (murid) kita? Lantas, bagaimana jika yang demikian itu melanda seluruh generasi bangsa? Tentu ironi yang berlapis bahkan tak berujung akan menambah huru-hara nasib peradaban bangsa. 

Dalam konteks inilah pentingnya meng-upgrade kemampuan dan mengoptimalkan peran guru di satuan lembaga pendidikan dari waktu ke waktu harus digalakan. Utamanya peran guru menurut Ki Hadjar Dewantara tidak hanya sebagai penuntun dan teladan melainkan bertanggungjawab mengembangkan potensi murid sesuai karakter bangsa. Sedangkan, generasi bangsa adalah aspek fundamental dalam menentukan arah gerak peradaban.

Terkait hal itu, yayasan Rumah Tahfidz Baitul Qur'an menghelat kajian dan upgrading dengan tajuk: Wawasan Kebangsaan dan Terbentuknya Lembaga Pendidikan yang Nyaman, Disiplin dan Rapi. Kegiatan ini mulanya hendak diisi oleh Komandan Rayon Militer (Danramil) 0807/03 Kedungwaru Tulungagung, yakni Kapten Armed Sugiharto. Namun beliau berhalangan hadir, sehingga digantikan oleh Sertu Mashul Wani. 

Beliau menegaskan bahwa bangsa Indonesia ini terbentuk dan berdiri atas dasar persatuan, kesatuan dan kehendak bersama untuk merdeka. Semuanya itu ditempuh dengan cara yang tidak mudah. Ada pengorbanan darah, nyawa dan bersatunya ideologi berbangsa dan bernegara yang harus ditebus. Itu artinya mengutamakan kepentingan bersama dibanding parsial. Ego sektoral yang berbasis etnis, suku, bahasa dan ideologi serta agama dikesampingkan: sembari mencari titik temu demi kemaslahatan bersama sesuai mufakat.

Pengorbanan di balik persatuan dan kesatuan tersebut tentu melahirkan konsep jiwa nasioalis dan patriotis. Kita semua mafhum, bahwa kedua sikap itu lekat dalam tubuh tentara nasional indonesia (TNI). Maka tak ayal jika menyoal kepahlawanan--yang di dalamnya memuat kedisiplinan, loyalitas dan keberanian--dalam konteks mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara taktis dan fisik kita banyak berkiblat pada TNI. Inilah alasan utama kenapa satuan lembaga kerap bermitra (menghadirkan) tentara untuk membangkitkan kedisiplinan dalam diri dewan guru dan murid.

Benang merah bertemu. Pahlawan tanpa tanda jasa harus belajar banyak pada pahlawan dengan tanda jasa. Karakter tentara yang tegas, disiplin dan berani serta siap berkorban inilah yang hendak ditiru. Kunci utama yang hendak diaplikasikan adalah bagaimana mampu memanajemen diri di antara semua kepentingan yang ada. Setiap orang memiliki waktu 24 jam dalam setiap hari, akan tetapi dalam praktiknya akan berbeda-beda. Berbeda dalam arti pemanfaatan dan penggunaannya. Ada istilah waktu efektif dan tidak; Ada waktu utama dan terbuang sia-sia. 

Soal manajemen waktu kita bisa belajar dari bagaimana seorang tentara menjalankan tugas di medan tempur. Akurasi waktu sesuai komando menjadi acuan. Bergulirnya waktu adalah medan untuk berpacu menjalankan misi dengan baik. Meleset sedikit, nyawa jadi taruhan. Salah memperhitungkan waktu akan menelan kekalahan. 

Ditegaskan, manajemen waktu tersebut dimulai dengan menata jadwal harian personal. Setelah jelas, aturlah diri untuk melakukan kegiatan sesuai jadwal yang ada. Upayakan ada tenggat waktu dari satu kegiatan ke kegiatan selanjutnya. Hindari sikap menyepelekan waktu: Tergesa-gesa dan molor. Jika manajemen diri telah bekerja dengan baik maka akan berdampak pada tanggung jawab yang bersifat publik. Dengan demikian, bekerja dengan disiplin dan tertib akan mudah dijalankan. 

Rumus utama dalam menjalankan manajemen diri adalah adanya usaha dan sanksi. Sikap mengupayakan on time dalam melakukan kegiatan sesuai jadwal harian harus ditegakkan. Sebaliknya, jika diri melanggar jadwal harian maka jangan sungkan untuk memberi sanksi. Sanksi tersebut dapat disesuaikan dengan batas kemampuan. Namun demikian bukan berarti pula kita harus melulu bersikap lembek terhada diri. 

Perlu dicatat bersama, bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Begitu pula dengan eksistensi satuan lembaga pendidikan, jika hendak maju harus dimulai dengan mengarusutamakan upaya perbaikan demi perbaikan secara bertahap. Harus diingat bersama, pohon tidak pernah berbuah tanpa berbunga. 

Melalui upgrading ini kami berharap seluruh sumber daya manusia lembaga: pendidik dan tenaga pendidik dapat melejit. Bukan hanya profesionalitas dalam bekerja melainkan menjadi pembimbing dan teladan (role model) dalam menanamkan kedisiplinan--semangat menghargai waktu dan memanfaatkannya dengan baik--di lingkungan lembaga. Jika sudah demikian tentu ghirah yang dibumikan dengan mudah akan menular kepada seluruh murid.

Harapan kami terpancang kuat, bunga yang telah mekar itu lekas jadi buah. Buah yang matang marun, besar dan manis semoga dapat dirasakan manfaatnya oleh khalayak masyarakat sekitar. Amin.